Penulis : Khomsatun Khasanah (1 PGMI D) 



 Di suatu sore di sebuah ruang tamu yang sederhana, terlihat Rani sedang duduk termenung sambil memandangi arah depan rumah. Rani bingung kemana arah arah hidupnya selanjutnya setelah lulus Sekolah Menengah Kejuruan nanti Bekerja atau Kuliah. Keduanya seolah menariknya ke jalan yang penuh ketidakpastian dan mimpi yang belum terungkap . Di sisi lain ia ingin meringankan beban ayah dan ibunya dengan bekerja, tapi ia juga ingin kuliah seperti teman-temannya diluar sana.

Rani kasihan dengan ayah dan ibunya yang bekerja setiap hari dari pagi sampai malam. Ayah dan ibunya bekerja sebagai pembuat gula merah di salah satu Kecamatan. Setiap pagi mereka berangkat menggunakan motor, sebelum berangkat ibu selalu sudah menyiapkan makanan untukku. Walaupun penghasilan orang tuanya tidak seberapa tapi ayah dan ibu Rani selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan memberikan yang terbaik untuk Rani.

"HMMM.... entahlah bingung sekali ucapku dalam hati". Dewasa sepusing ini ya, coba aku bisa kembali seperti anak kecil yang dipikirannya hanyalah main. "Aaaa aku tidak ingin dewasa aku ingin menjadi anak kecil saja", gumam ku waktu itu.

         Hari pun mulai berganti malam, terlihat langit nampak mulai gelap dengan sedikit cahaya matahari terbenam. Adzan Maghrib mulai berkumandang, Rani bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan shalat. Setelah melaksanakan shalat tiba-tiba terdengar suara orang memamggilnya.

"Rinn, rinaaaa". Ternyata Tari. Tari adalah sahabat Rani dari kecil mereka sudah bersahabat sejak Sekolah Dasar sampai saat ini. Tapi ketika lulus Sekolah Menengah Pertama mereka tidak satu sekolah tari melanjutkan di Sekolah Menengah Atas sedangkan aku di Sekolah Menengah Kejuruan.

" Iya sebentar. Aku bergegas keluar kamar dan membukakan pintu.

"Heii, temenin aku yuk ke warung pulsa mau beli pulsa nii". Ucap Tari nyengir.

" Ohh bentar ya , aku siap- siap dulu tapi sini masuk dulu. Tari pun masuk sambil menunggu Rani siap di ruang tamu. Tak lama kemudian mereka berdua pergi ke warung, dijalan mereka mengobrol dan bercanda ringan.

  " Aku nanti di rumah kamu dulu ya sambil nunggu ayah ku jemput, ucap Tari".

" Iyaaa, kek sama siapa aja ayoo". Mereka pun sudah kembali lagi ke rumah Rani dan menunggu ayahnya Tari diruang TV. Tak lama kemudian terdengar suara motor di halaman rumah Rani menandakan ayah dan ibunya telah pulang.

 "Ceklekk" Ayah membuka pintu ia pun kaget melihat aku sedang bersama Tari.

" Ehh, ada Tari main yaa ". Ucap ayah.

 "Iya ini om kata Tari. Ayah dan ibu langsung ke belakang untuk membersihkan diri dan menaruh barang-barang. lalu mereka ikut bergabung di ruang TV bersama aku dan Tari, dan menonton acara TV biasa. Tiba-tiba saja, ayah bertanya kepada Tari sambil mengambil kresek tembakau nya.

" Kamu mau lanjutin ke mana tar , tanya ayah. seketika ekspresi wajah ku berubah karna pertanyaan ayah. Tari pun menjawab

  " Di Universitas Negri dekat sini aja om, lagi nunggu tes seleksinya om bentar lagi." Jawabnya.

" Oh Rani malah belum sama sekali katanya malah pengin kerja itu." Entah aku saat itu yang sedang pusing atau sensitif atau gimana aku tidak suka sekali pada jawaban ayahku itu. Apa lagi ayah bilang seperti itu depan orang lain membuat ku semakin merasa kesal dan tidak suka.

" DIAMMM " ucapku secara spontan. Seketika suasana di ruang TV itu berubah menjadi hening dan dingin, mataku mulai berkaca-kaca tapi aku berusaha untuk tidak menangis. Bukan karna omongan ayah tadi tapi karna omongan yang baru saja keluar dari mulutku. Rasanya seperti ledakan bom dari hati yang sudah terpendam lama.

Tak lama kemudian, terdengar suara ayah Tari memanggilnya untuk segera pulang. Tari pun langsung berpamitan dengan ayah dan ibuku dan bergegas dan bergegas pergi,aku pun mengantarnya sampai depan rumah.

" Aku pulang dulu ya ran,makasi yaa ". Ucap Tari sambil tersenyum.

 " Iya sama-sama ran, hati-hati ya." Jawabku.

           Setelah mengantarkan tari pulang aku langsung menuju kamar, aku menangis rasanya sedih, ragu, bingung dan merasa seperti sangat dituntut oleh mereka. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan langkah apa yang harus aku ambil. Tiba-tiba saja aku teringat dengan omongan ayah waktu lebaran kemarin ketika dirumah saudara, ayah disitu bilang pengin sekali anak-anaknya kuliah jadi orang berpendidikan tidak seperti dirinya yang hanya bisa bersekolah sampai SD saja. Aku termenung, ucapan itu masih terbayanga- bayang di pikiranku. Jika aku melanjutkan nanti apa aku bisa di sekolah saja nilai ku pas-pasan dan , tapi di sisi lain aku juga berpikir jika aku tidak mendengarkan apa yang ayah dan ibuku katakan aku takut jalan pilihanku susah dan sulit. Dimalam itu aku hanya memikirkan apa keputusan yang harus aku ambil, dan dengan pertimbangan dari diriku. Mereka sangat ingin sekali aku melanjutkan, mereka selalu bilang seberapapun biayanya ayah ibu akan usahakan.

   Beberapa hari setelah kejadian malam itu, aku mulai mengambil keputusan setelah pertimbangan yang matang dan kesiapan diriku. Aku memilih untuk berkuliah aku berpikir mungkin ini kesempatan ku aku harus bersyukur karena orang tua ku lah yang menginginkan nya. Di luar sana banyak temen-temen ku juga yang ingin berkuliah tapi orang tua mereka tidak mengizinkannya. Esok pagi sebelum ayah dan ibu berangkat aku memberanikan diriku untuk menemui mereka dan menyampaikan tentang keputusan ku itu.

 " Bu, ayah aku mau melanjutkan kuliah aku mau daftar di universitas dekat sini saja". Ucapku agak takut.

" Iya silahkan dimana pun itu terserah kamu yang penting kamu minat disitu yang niat yakin dengan apa yang kamu ambil". Ucap ibu.

" Hmm iya Bu Bismillah, yaudah aku daftar sekarang ya". Aku pun langsung pergi ke kamar mempersiapkan berkas-berkas pendaftaran kuliah ku."

             Saat itu hari-hari ku gunakan untuk belajar dengan sungguh-sungguh demi seleksi ujian yang menanti. Setiap hari, aku selalu bersemangat belajar dan mengikuti Try Out. Terkadang keraguan melintas di pikiran ku ' Apa aku bisa ya lulus dan keterima di sana, sementara pasti banyak yang lebih hebat dari aku?'. Tapi aku tidak mempedulikan aku akan tetap terus belajar dan optimis untuk hasilnya nanti.

     Akhirnya, hari ujian pun tiba. Pagi itu jam 8 pagi , aku sudah bersiap dengan kemeja putih dan rok hitam. Sebelum berangkat aku berpamitan dengan ayah dan ibu untuk meminta doa restu mereka, suasana seketika berubah menjadi haru tiba-tiba saja air mataku terasa ingin menetes. Dengan hati berdebar, aku berangkat diantar oleh paman. Di perjalanan dalam hati aku berdoa niatkan semua yang aku lakukan ini untuk ayah dan ibuku. Saat sampai disana, aku melihat banyak orang menunggu. Aku berdiri di pinggir tembok sambil menunggu bel berbunyi, tak lama kemudian bel pun berbunyi dengan hati berdebar dan pikiran tak karuan aku memasuki ruang ujian itu. Ujian itu dilakukan selama ± 2 Jam, aku mengerjakannya sesuai dengan kemampuanku. Sekitar jam setengah satu siang aku keluar ruangan itu, dengan perasaan sedikit lega dan takut akan hasilnya tapi aku berusaha untuk tetap optimis apapun hasilnya nanti.

            2 Minggu pun berlalu, Sore ini pengumuman hasil ujian itu. Dari pagi sampai sore ini perasaanku tidak karuan. Takut, cemas, dan bingung yang kurasakan, jika nanti aku tidak di terima gimana respon ayah dan ibuku nanti aku takut mengecewakam mereka. Adzan asar pun bejumandang aku segera mengambil air wudhu dan menunaikan salat agar hatiku menjadi lebih tenang. Pengumuman ujian itu pun telah diumumkan, perasaan sedih bahagia tidak menyangka yang kurasakan saat itu. Aku menangis sejadi-jadinya diatas sajadah itu sambil tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah ia berikan. Aku pun langsung memberitahu ibu lewat WhatsApp.

"Bu, Alhamdulillah aku keterima." ucapku excited sambil

" Alhamdulillah, kalo gitu lah terus pengumuman Uang Kuliah Tunggal nya kapan? ". Tanya ibu.

" 1 Minggu lagi mungkin Bu jawabku.

" Oh, gitu yaudah sambil nunggu ibu ayah ngumpulin uang dulu". Jawab dia.

 Ibu pun hanya berbicara seperti itu,dia tidak sama sekali mengapresiasi kerja keras dan apa yang telah aku lakukan. Seketika suasana hatiku berubah menjadi biasa saja. Tidak ada kata-kata " Kami bangga denganmu " yang keluar dari mulut mereka. Aku merasa apa yang telah aku lakukan ini sia-sia mereka menuntut ku untuk kuliah tapi ketika aku berhasil mereka seperti tidak menghargai perjuangan dan kerja keras ku.

 Beberapa hari setelah hari itu aku mulai sadar mungkin mereka tidak pandai untuk mengekpresikan apa yang di rasakan, aku tahu mereka pasti bangga. Aku sudah tidak sedih dan marah lagi, aku bersemangat untuk menjalani status baruku sebagai mahasiswa. Pencapaian ini adalah buah hasil dari kerja kerasku sendiri, dan itu sudah cukup membuatku bangga.

          Dalam cerita ini pesan yang dapat kita ambil adalah perjuangan dan kemenangan diri sendiri tak selamanya memerlukan sorak sorai dari orang lain, karna kekuatan sejati ialah yang lahir dari diri kita sendiri.