Oleh: Lu'lu Ul Faro khati (1 PGMI D)
Seorang perempuan biasa yang bekerja sebagai pembantu di rumah orang kaya, ini berlatar pada tahun 90an dimana sesuatu yang terlihat tidak biasa patut dipertanyakan dan dihapuskan. Bagi perempuan itu yang sudah hidup selama belasan tahun, berhubungan dengan hal-hal tak biasa bukanlah yang dia pikirkan. Melainkan bagaimana dia bisa mengenyangkan perutnya dan tidak membuat marah tuannya.
Seperti nama sekuntum bunga yang tak pernah dihiraukan, Dahlia hidup dengan dirinya sendiri. Tak ada kehangatan keluarga yang bisa menyambutnya di rumah, hanya tungku dingin yang mulai membeku di musim dingin ini.
Setiap malam, Dahlia pulang ke rumahnya. Menghabiskan hidupnya untuk bertahan hidup dengan sisa makanan dapur, setidaknya ada sup hangat dan roti yang bisa mengisi perutnya dan menghangatkannya ketika dingin. Itu sudah lebih dari cukup baginya yang terus menerus sekarat di akhir tahun. Dengan tumpukan salju yang menggunung di depan pondok reotnya dan pintu yang terus berderak keras setiap kali salju mengenainya. Setiap pagi, Dahlia kesusahan keluar dari pintu dan harus memanjat keluar jendela.
Dia tak pernah mengeluh, bukan karena dia anak yang sabar dan penuh keikhlasan. Dia hanya sudah pasrah menerima keadaannya yang seperti ini. Tak lebih dan tak kurang, setidaknya hidup ini sudah cukup baginya. Dia terlalu takut untuk meminta lebih hanya untuk kemudian di hancurkan oleh harapannya.
Suatu hari, menjelang tengah malam, Dahlia seperti biasa pulang ke pondok reotnya dengan satu mangkok sup dan sekeranjang roti di tangannya. Dia berjalan sambil memeluk sup hangat itu, berharap dia bisa membagi kehangatan sambil melewati jalan setapak yang kian dingin.
Tiba-tiba, Dahlia mendengar suara mengeong dari balik salju. Awalnya dia tidak menghiraukannya, tapi suara itu semakin keras hingga berteriak kesakitan. Barulah Dahlia menyadari dia menginjak ekor sang kucing. Hanya ekornya saja yang kelihatan, hampir berbaur dengan putihnya salju. Dengan hati-hati, Dahlia mengangkat kucing itu keluar dari salju. Bulunya putih bersih dengan mata sebiru es. Dahlia terpaku sesaat melihat cantiknya kucing itu.
“Apakah kau tidak apa-apa?” Tanyanya khawatir, kini dia mulai memperhatikan makhluk kecil itu baik-baik. Untungnya bulunya masih hangat, Dahlia bergegas membawanya ke pondoknya.
Sesampainya di pondok reot, hal pertama yang dia lakukan adalah menyalakan tungku perapian. Meletakkan sup dan rotinya kemudian menyelimuti kucing itu dengan kain bersih. Meletakkannya di depan tungku untuk mengeringkan diri.
“Maaf karena aku menginjakmu,” ujar Dahlia, dia menyiapkan satu mangkok sup. Membagikan makan malamnya kepada sang kucing yang dengan semangat memakannya. Betapa kelaparannya kucing itu.
“Makanlah, anak pintar.” Puji Dahlia dengan bangga, dia mengelus lembut kucing itu kemudian pergi ke mejanya sendiri untuk makan. Hangat sup dan lembut roti mulai menghangatkannya. Dengan lahap, Dahlia menghabiskan seluruh makanannya.
Karena kekenyangan, tanpa sadar Dahlia mulai terlelap dalam tidurnya. Mungkin karena dia pulang lebih malam dibandingkan sebelumnya, kini dia mulai mengantuk tanpa sempat membersihkan diri ataupun mencuci piring piringnya.
Keesokan paginya, Dahlia terbangun setengah mengantuk. Menatap matahari yang ternyata sudah terbit dari timur. Dia panik dan langsung bergegas keluar, seharusnya dia pergi ke rumah tuannya sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Tapi karena kelalaiannya, kini dia pasti akan dimarahi sang Tuan.
Dahlia hampir menyentuh pintu sebelum menyadari kucingnya tak ada, tapi dia sudah terlambat untuk memikirkan hal itu. Saat datang, benar saja dia dimarahi habis-habisan
Hampir saja dia dipecat jika tidak di selamatkan oleh kepala pelayan, wanita baik hati. Dahlia selamat tapi dia harus mencuci seluruh seprei di rumah dengan tangannya sendiri, hukuman berat karena seprei itu berat dan jumlahnya bisa dibilang tidak sedikit. Dia kembali ke pondoknya sangat malam, dalam keadaan dingin akibat air salju untuk mencuci seprei. Tangannya menggigil dengan harapan bisa kembali ke pondoknya yang walau sempit dan reot tapi hangat. Dia berjalan dengan tumpukan salju di sekitarnya, menarik erat kain lusuhnya untuk membungkus tubuhnya. Dia benar-benar hampir merasa mati. Saat itulah suara mengeong terdengar.
“Snow? Apakah itu kau?” Dahlia yang memutuskan memanggilnya itu, dia melihat dalam matanya yang hampir menutup, seputih salju dan mata sedingin es. Dia mendatangi Dahlia dengan lembut.
“Aku tidak akan membiarkanmu mati.” Itulah kata-kata terakhir yang dia dengar sebelum kesadarannya hilang. Tiba-tiba sebuah cahaya menyilaukan terpancar.
Ketika dia bangun, dia mendapati dirinya sudah sampai pondok dalam keadaan hangat dan kenyang. Dia mengira itu semua mungkin mimpi dan kembali bergegas untuk berangkat. Mengerjakan tugasnya di rumah tuannya.
Tapi sore itu berbeda, dia merasa kepalanya gatal dan ada yang geli. Ketika dia menyentuhnya, ada semacam sesuatu yang berbulu tumbuh. Panik, Dahlia bercermin dan melihat telinga kucing di sana. Tangannya juga berubah menjadi telapak kucing yang kenyal.
Dahlia bergegas pulang dengan izin sakit pada kepala pelayan, untungnya wanita itu baik dan menyuruh Dahlia untuk mengerjakan tugasnya besok. Sesampainya Dahlia di pondok, dia setengahnya berubah menjadi seekor kucing. Masih berdiri selayaknya manusia, hanya ekor, telapak tangan, kaki dan telinganya menjadi kucing berwarna hitam seperti rambutnya.
Tanpa di sadari Dahlia, teman perempuannya yang di suruh oleh kepala pelayan untuk mengantarkan makanan, melihat kejadian Dahlia yang menjadi jelmaan kucing, berteriak ngeri. Menganggap Dahlia sebagai manusia serigala. Sosok makhluk yang menakutkan bagi manusia.
Dahlia berusaha menahannya, tapi temannya semakin menjerit dan berteriak memanggil warga. Pondok yang biasa sepi itu kini penuh dengan warga yang membawa obor dan senjata di tangan. Mereka menatap Dahlia takut tapi keyakinan. Berteriak untuk membakar dan membunuh Dahlia sendiri.
Tak ada penjelasan yang bisa dilakukan, mulutnya terbungkam sebelum dia bisa melakukannya. Dahlia memilih melarikan diri ke hitam jauh di sana. Diikuti oleh para warga, warna merah dan jingga menghiasi hutan salju yang ditutupi langit malam. Membuat kontras yang menakutkan bagi Dahlia sendiri.
Dia bersembunyi dalam gua, meringkuk ketakutan, gemetar karena dingin dan takut yang bercampur menjadi satu. Saat itulah kucing yang dulu di rawat Dahlia datang, tapi dalam rupa yang sama seperti Dahlia. Manusia setengah kucing, bulu putih yang kontras dengan warna hitam Dahlia.
“K-kau?” Dahlia menunjuk jarinya panik, dia sangat kaget melihat semua ini.
“Tenanglah, wahai penyelamatku. Kau aman bersamaku.” Lelaki kucing itu berusaha menenangkan Dahlia, tapi Dahlia sendiri langsung menepisnya menjauh.
“Apa ini perbuatanmu?!” Tuduhnya geram, matanya menatap sengit tepat ke mata biru cerahnya.
“Aku hanya tidak ingin kau mati-“
“Aku tidak meminta ini! Mengapa kau melakukannya? Mengapa?!” Teriak Dahlia penuh frustrasi. Dia membenci kenyataan bahwa dia berbeda dan sekarang diburu oleh seluruh warga. Padahal yang dia inginkan hanya kehidupan biasanya, tapi karena menyelamatkan seekor kucing sekarang dia harus tersiksa.
“Aku menolongmu seperti kau menolongku, mengapa kau ketakutan?” Tanyanya bingung.
“Dengan mengubahku menjadi sepertimu? Kau membuatku tampak seperti keanehan yang tak dapat diterima di dunia ini.”
“Kalau begitu ikutlah denganku, hiduplah denganku.” Pinta lelaki itu, dia mengulurkan tangannya untuk Dahlia genggam.
“Tidak, aku tidak mau...lepaskan aku.” Pinta Dahlia.
“Tapi kau akan mati,”
“Maka biarkan aku mati,” ucap Dahlia mantap, dia menatap lelaki itu dalam. “Biarkan aku mati.”
“Tidak, Dahlia...kumohon,” lelaki itu mulai terduduk, menggenggam tangan Dahlia sambil memohon padanya untuk mengubah keputusannya. “Kau tidak bisa mati begitu saja.”
Sayangnya keputusan Dahlia sudah bulat, dia melepaskan tangan lelaki itu menjauh. Matanya menatap penuh keyakinan sebelum berucap, “Lepaskan aku, biarkan aku mati sebagai diriku sendiri.”
Lelaki itu meninggalkannya dengan berat hati. Meninggalkan cinta pertama yang sudah susah payah ingin ia dapatkan. Dahlia memilih takdirnya sendiri. Untuk mati dalam tumpukan salju, menyatu bersama dinginnya hingga musim selanjutnya tiba.
0 Komentar