DARI LANGKAH KECIL
MEMBUKA JALAN YANG BESAR
Oleh: Bati Melina zunfi_1 PGMI A
Cerita ini mengangkat perjalanan seorang remaja bernama Lina yang sejak awal tidak pernah bermimpi melanjutkan kuliah. Latar belakang keluarganya yang sederhana membuatnya hanya berharap bisa segera bekerja setelah lulus SMK. Namun rangkaian pengalaman dari menganggur, merantau menjadi buruh pabrik, hingga menemukan kembali harapan meraih cita cita, pelan-pelan membuka jalan besar yang tak pernah ia bayangkan. Ia kini bisa menjadi mahasiswa. Cerita ini menunjukkan bahwa langkah kecil yang dilakukan dengan niat tulus dapat mengubah arah hidup seseorang secara luar biasa.
Namaku Lina. Aku lahir di keluarga sederhana di Pemalang. Ayahku hanya seorang kuli bangunan, sedangkan ibuku berjualan keripik di rumah. Penghasilan mereka tidak seberapa, tapi cukup untuk makan, listrik, dan kebutuhan sekolah seadanya. Kami hidup dalam kesederhanaan, tapi aku tidak pernah kekurangan cinta dari mereka.
Saat aku duduk di bangku SMK, aku mengambil jurusan akuntansi, dengan harapan aku bisa segera bekerja setelah lulus nantinya. Aku tidak pernah memikirkan aku akan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang kuliah. Bagiku, kuliah adalah mimpi tinggi yang tidak selayaknya aku miliki. Rasanya seperti Bintang, yang indah dari jauh, tapi mustahil untuk diraih. Setelah lulus SMK, satu-satunya rencana yang kupunya hanyalah bekerja. Membantu ekonomi keluarga, mengurangi beban mereka, dan mungkin suatu hari nanti bisa membuat mereka bangga.
Aku yakin dengan ilmu akuntansi yang kupelajari, mencari pekerjaan akan mudah. Namun keyakinan itu hanya berlaku di kepalaku. Pada prakteknya, semuanya berbeda.
Beberapa bulan setelah kelulusan, aku menganggur di rumah. Setiap pagi rutinitasku sama, hanya membantu ibu membuat keripik, menggoreng, mengemas, lalu menjualnya. Meskipun aku senang melakukanya, jauh di dalam lubuk hatiku ada suara yang terus berbisik,’Sampai kapan begini?’,kapan aku bisa bahagiain mamah papah kalo begini terus?’
Tidak tahan dengan keadaan, aku mulai melamar pekerjaan ke berbagai tempat seperti bank, koperasi , instansi pemerintahan, bahkan sebagai kasir di supermarket. Tapi hasilnya nihil. Banyak yang menolak mentah-mentah karena aku hanya lulusan SMK. Syarat yang paling sering muncul adalah S1. Setiap membaca persyaratan itu, dada rasanya sesak.
“Ah… mana mungkin aku bisa kuliah,” pikirku.
Hidupku rasanya hanya berputar di satu tempat. Melihat ibu bekerja keras, melihat ayah pulang dengan tubuh pegal pegal dan keringat bercampur debu bangunan, aku semakin merasa tak berguna. Aku ingin membahagiakan mereka, tapi bagaimana? Aku tak punya uang, belum punya pekerjaan, dan masa depanku terasa abu abu.
Pada suatu titik, aku lelah memikirkan semua itu. Aku nekat menerima tawaran kerja sebagai buruh pabrik di sebuah PT. di kota Brebes. Saat itu aku pikir, “Yang penting kerja. Daripada nganggur.”
Namun kenyataan kembali menamparku dengan keras.
Hari pertama bekerja, rasanya capek banget, kaki rasanya mau copot. Pekerjaan dimulai sejak pagi, berdiri berjam-jam, dengan tangan yang tak erhenti bekerja, diiringi suara mesin yang bising, tekanan dari atasan, dan ritme kerja yang tak pernah berhenti. Pulang kerja, tubuhku serasa remuk.
“Sekolah dan kerja itu beda bangett..” keluhku.
Hari-hari berlalu, pekerjaan yang melelahkan itu menjadi bagian dari rutinitas. Gaji UMR Brebes yang kuperoleh hampir habis hanya untuk kos dan makan saja. Belum kebutuhan lain, apalagi untuk membantu keluarga. Rasanya aku bekerja sangat keras, tapi hidup gini gini aja.
Di malam-malam tertentu, aku sering menangis diam-diam.
“Beginikah hidupku sampai tua? Kerja, lelah, habis waktu, habis tenaga, tapi ngga ada perubahan?”
Setelah lima bulan bekerja, ayah dan ibuku memintaku resign dan pulang, lantaran aku sering jatuh sakit karena kelelahan.
“Ayah sama Ibu nggak tega lihat kamu kerja kayak gitu,” katanya.
Akhirnya aku resign dan kembali ke rumah. Akhirnya aku bisa beristirahat, namun hari-hari setelah itu terasa hampa. Tapi suatu ketika, ada satu hal yang menjadi titik balik hidupku.
Beberapa minggu setelah pulang, seperti biasa aku bersantai dengan scrool solsial mediaku tanpa sengaja aku melihat postingan penerimaan mahasiswa baru di salah satu kampus.. Poster berwarna biru, hijau, atau kuning dengan tulisan;“Pendaftaran mahasiswa baru telah dibuka!”
Awalnya aku abaikan.
“Mana mungkin aku kuliah?”
“Ngimpi aja, uang dari mana?”
Tapi di sore itu, aku berhenti lama di depan layar hp, menatap poster itu. Hatiku berbisik,
“Andai saja aku bisa kuliah… andai saja bisa mengejar cita-citaku…ahh iya dulu waktu kecil aku ingin menjadi guru…”
Tanpa sadar, air mata jatuh. Aku membayangkan diriku memakai almamater kampus, belajar di kelas, bertemu teman-teman baru, dan membanggakan kedua orang tuaku. Tapi aku menepuk pipiku sendiri—cuma mimpi.
Tiba-tiba ayah lewat di ruang tamu, melihatku yang sedang menatap ponsel dengan wajah murung.
Ia berhenti, melirik kea rah layer hp ku, lalu bertanya pelan,
“Nak… kamu..mau kuliah?”
Aku terkejut.
“Enggak, Yah. Kan mahal…”
Ayah tersenyum kecil, senyum yang membuat mataku panas, membendung air mata.
“Ayah ada uang lebih. Coba daftar dulu. Urusan nanti-nantinya, insyaAllah ada jalan.”
Aku sampai tak bisa berkata apa pun. Rasa terharu menyengat dada. Ayahku, yang hidupnya keras, tubuhnya tak lagi sekuat dulu, sering pulang dengan tangan kasar, justru ingin mendorongku mengejar sesuatu yang bahkan aku sendiri masih ragu. Tapi melihat kesungguhan ayahku, aku yang awalnya menolak mencoba melangkah, membuka lembaran baru.
Akhirnya, dengan modal uang dari ayah, aku mendaftar universitas dengan jalur masuk Um-ptkin, karena aku sudah gape year.
Dan saat pengumuman keluar, aku LOLOS di pilihan pertama; Prodi PGMI di UIN SAIZU Purwokerto. Kalau orang lain menjadikan uin sebagai pilihan terakhir merekea, aku tidak. aku menjadikanya pilihan pertamaku. karena menurutku, di manapun tempat kita menuntut ilmu itu sama saja. semuanya kembali lagi pada keseriusan kita belajar dan kemampuan yang akan kita peroleh dari usaha itu nantinya.
Aku senang sekali. Ayah memelukku. Ibu tersenyum sambil mengusap kepalaku“Kamu bisa, Nak…” katanya.
Namun kebahagiaan itu terhenti ketika pengumuman UKT muncul.
Rp 4.000.000.
Angka itu terasa seperti batu besar yang menghalangi langkahku.
Aku berkata lirih, “Kalau mau digagalin juga nggak apa-apa, Yah, Mah…”
Tapi ayah menatapku dengan mata yang penuh tekad.
“InsyaAllah ayah mampu. Kamu fokus kuliah aja. Jangan takut.”
Aku membeku. Dari wajahnya aku melihat api semangat. Ayah siap bekerja lebih keras, meski tubuhnya sudah tak sekuat dulu. Melihat itu, hatiku remuk sekaligus penuh semangat baru.
Dengan uang gaji yang aku tabung sewaktu bekerja pabrik, aku membeli laptop second. Tidak terlalu bagus, tapi cukup untuk kuliah.
“Yang penting bisa dipakai,” pikirku.
Beberapa bulan berjalan, aku telah menjalani rutinitas baruku sebagai mahasiswa. Lalu pendaftaran beasiswa KIP Kuliah dibuka. Aku mendaftar dengan harapan memperoleh beasiswa tersebut dan bisa sedikit meringankan beban ayahku.
Aku tidak berharap banyak, tapi setiap malam aku selalu berdoa,
“Ya Allah, kalau ini jalan terbaik, maka mudahkan…”
Aku pernah melihat quotes “Tidak akan Allah halangi, jika sesuatu itu pantas untukmu”
Dan pada hari pengumuman, aku bahkan sempat tak berani membuka situsnya. Jantungku seperti mau terlepas. Setelah beberapa menit menahan napas, akhirnya aku buka.
Dan di layar itu tertulis:
“berikut nama nama yang dinyatakan lolos sebagai penerima Beasiswa KIP Kuliah.”
Dan namaku ada di sana..
“Alhamdulillah…”
Aku mengabari orang tuaku, dan mereka mengucap syukur
Akhirnya beban keluarga menjadi lebih ringan. Kini kuliah bukan lagi mimpi yang jauh, karena aku benar-benar menjalaninya sekarang.
Dan semua itu bermula dari satu sore sederhana ketika ayah melihatku memandangi poster kuliah dan mengatakan,
“Coba dulu, Nak. InsyaAllah ada jalan.”
Dari semua yang sudah kualami, aku belajar bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan, tetapi Allah selalu memberi jalan untuk mereka yang mau berusaha.
Aku pernah mengira bahwa kuliah bukan jalanku.
Aku pernah mengira akan menjadi buruh pabrik selamanya.
Aku pernah berpikir masa depanku berhenti sampai di situ.
Namun kenyataan menunjukkan hal yang berbeda:
Ketika kita mau melangkah, sekecil apa pun itu, Allah akan membuka jalan menuju kesempatan yang lebih besar.
Aku belajar bahwa pendidikan membuka pintu yang tidak bisa dibuka oleh tenaga saja.
Aku belajar bahwa keluarga adalah alasan terbesar untuk bangkit.
Dan aku belajar bahwa mimpi tidak pernah terlalu tinggi, asalkan kita berani mencoba.
Kini aku menjalani rutinitasku di kampus sebagai mahasiswi PGMI UIN Saizu, dengan cita-cita dan harapan menjadi guru yang bermanfaat.
Setiap langkah yang kuambil, akuakan mengingat wajah ayah dan ibu yang tak pernah menyerah mengupayakan segala hal untuku.
Dari semua yang telah aku alami, aku belajar satu hal penting:
Kemiskinan bukan alasan untuk berhenti bermimpi, tapi justru alasan untuk berjuang lebih keras.
_END_
Semoga sepenggal cerita tentang hidupku dapat memberikan sedikit motivasi bagi siapapun yang membacanya nanti
0 Komentar